Minggu, 26 April 2009

SISTEM DAN PERILAKU

SISTEM DAN PERILAKU
Sistem Nilai ”Kaizen” untuk Sampah Kita

MENCARI tempat pembuangan sampah (TPA) baru, kini bukan perkara mudah. Semua orang trauma dengan musibah peledakan sampah di Leuwigajah, beberapa waktu lalu. Warga banyak yang menolak bila wilayahnya direncanakan pemerintah jadi TPA baru. Selain trauma, juga enggan daerahnya jadi kotor dan bau.
Kendala pembuangan sampah tidak saja terkait pada sulitnya mencari lahan baru, yang diperkirakan seluas 5 ha. Namun, juga terkait dengan pembengkakan biaya pengangkutan sampah. Kenaikan BBM, yang dua kali lipat, memicu mahalnya biaya pengangkutan sampah yang dibebankan pada masyarakat.
Ke mana kita membuang sampah?
Upaya swadaya
Dari persoalan yang ada, mungkin pengelolaan sampah secara swadaya bisa dijadikan alternatif. Sampah bukan masalah pemerintah sepenuhnya, tapi juga persoalan setiap orang. Alat pembakar sampah yang disebut insinerator (incenerator), bisa jadi jalan keluarnya. Alat ini diklaim beberapa ahli sebagai alat pembakar sampah yang rendah kadar polusi asapnya. Selain itu, hasil pengolahan sampahnya pun bisa dijadikan media tanam unggul. Alat ini memiliki kapasitas yang cukup banyak untuk membakar sampah. Delapan jam waktu yang diperlukan untuk membakar 10 m3 sampah, setara dengan kapasitas dua truk engkel. Kelihatannya, manfaat alat ini cukup besar, jika menilik harganya yang sekira Rp 15 juta.
Sebuah kawasan di Permata Cimahi telah memakainya. Masyarakat di area ini mengelola sampahnya dengan bantuan insinerator (incenerator). Warga tak lagi terbebani biaya angkut sampah atau mencium bau busuk dan menyaksikan gunungan sampah. Tiap warga tinggal menyimpan sampah yang dikemas kantong plastik di depan pagar rumah. Petugas sampah akan mengangkutnya dengan gerobak, lantas mengirimkannya ke tempat pembuangan yang telah ditentukan. Di tempat pembuangan, seorang petugas akan memasukkannya ke bak insinerator. Sampah itu dibakar. Sampah pun tak mengusik ketenangan dan kenyamanan hidup warga.
Penyelesaian sampah seperti itu memerlukan manajemen pengolahan sampah yang tepat. Sekali lagi, sampah bukan persoalan pemerintah semata, tetapi menjadi masalah kita semua. Untuk itu, perlu kesadaran dan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat.
Pemerintah tampaknya tengah berupaya. Paling tidak mencari tempat pembuangan sampah akhir yang baru. Pemerintah juga tengah mengkaji beberapa alat pembakar sampah alternatif, seperti tungku pembakaran dan insinerator (incenerator). Untuk mengatasi air lindi dari sampah yang belum terangkut, pemerintah menaburkan kapur dan melakukan penyemprotan di TPS-TPS. Selain itu, pemerintah juga mengimbau warga agar mengurangi produksi sampah.
Upaya pemerintah tampaknya mesti dibantu. Dengan keterbatasan yang ada, pemerintah tidak mampu menyediakan tungku pembakaran ataupun insinerator (incenerator) dalam jumlah yang banyak. Untuk itu, diperlukan kesadaran individu untuk mengelola sampah secara swadaya, baik di tingkat RT, RW, maupun di tingkat yang lebih luas lagi.
Konsep ”Kaizen”
Dalam mengelola pengolahan sampah ini, saya teringat dengan upaya yang telah dilakukan di negara Jepang. Jepang dikenal sebagai negara, di kawasan Asia, yang sangat menjaga kebersihan. Di negeri sakura ini, banyak orang yang sangat takut akan kuman. Mereka terbiasa menjaga diri, keluarga, dan lingkungannya dari segala hal yang kotor, bau, dan menjijikkan.
Oleh larena itu, sampah amat dijauhi. Pemerintah dan rakyat Jepang berhasil membangun manajemen sampah dengan baik. Salah satu konsep manajemen, dari bangsa yang selalu mengejar kesempurnaan ini, ialah konsep Kaizen. Kaizen merupakan sebuah konsep tunggal dalam manajemen Jepang. Kaizen berarti penyempurnaan yang berkesinambungan dalam kehidupan pribadi, keluarga, lingkungan sosial, dan di tempat bekerja. Kaizen berarti penyempurnaan berkesinambungan yang melibatkan semua orang. Kaizen merupakan tanggung jawab setiap orang.
Filsafat Kaizen menganggap bahwa cara hidup kita - baik cara kerja, kehidupan sosial, dan kehidupan rumah tangga - perlu disempurnakan setiap saat. Setiap kegiatan selalu dicoba untuk dibuat lebih baik lagi, diproses menuju kesempurnaan. Gerakan Kaizen dikenal dengan gerakan 5 S (five-s). Setiap kata S di sini merupakan inisial dari lima kata Jepang, yaitu:
- seiri (membereskan),
- seiton (menata),
- seiso (membersihkan),
- seiketsu (membiasakan),
- shitsuke (disiplin).
Ke-5 S, dari gerakan Kaizen ini, diterapkan dalam berbagai konteks kehidupan masyarakat.
Kaizen telah mengakar dalam cara berpikir orang Jepang. Mereka selalu melakukan penyempurnaan, mengupayakan hari esok selalu lebih baik dari hari ini.
Cara berpikir Kaizen ini, tampaknya, bisa dijadikan alternatif mengatasi persoalan sampah di kota kita. Pemerintah bersama masyarakat bahu-membahu menyempurnakan penyelesaian persoalan sampah, melakukan penyempurnaan terhadap apa yang telah dilakukan. Terus- menerus menyempurnakan pemberdayaan upaya penanggulangan sampah dan menyelesaikan permasalahan sampah sampai tuntas.
”Seiri”
Ini berarti pemberesan dan pemilahan lingkungan yang dilakukan secara terus-menerus. Pemisahan secara tegas tentang benda harus dibuang dan masih dapat dipakai. Sampah-sampah yang ada dipilah dengan aturan tertentu, seperti pemilahan sampah basah dan kering, atau sampah organik dan nonorganik. Sampah-sampah organik dapat diolah menjadi humus, sementara sampah nonorganik dibakar dengan insinerator atau tungku pembakaran.
Pemberesan lingkungan dari sampah, secara swadaya ini, tampaknya masih perlu digalakkan. Masyarakat perlu diberikan pemahaman, mengapa mereka perlu membersihkan rumah dan lingkungannya secara tuntas dan mengolah habis semua sampah yang diproduksinya. Masyarakat perlu dipersuasi, agar dapat memilah dan membereskan rumah dan lingkungan sekitarnya dari barang-barang yang tak berguna. Pemerintah, bersama aktifis lingkungan, tidak hanya mengedukasi jargon "Jangan buang sampah sembarangan!" Tapi juga: "Olah sampah sendiri!"
”Seiton”
Kebijakan pengolahan sampah memerlukan penataan (seiton). Barang-barang, yang dianggap sampah, disimpan pada tempatnya dan dikemas dengan baik agar mudah membuangnya. Selain itu, pusat-pusat pengolahan sampah juga perlu ditata. Tempat-tempat pengolahan sampah, sebisa mungkin, terletak di kawasan yang agak jauh dari permukiman penduduk, untuk mencegah masyarakat terkena polusi. Penataan pun tetap perlu berbasis efisiensi sehingga, sedapat mungkin, mudah dijangkau warga tanpa tambahan biaya. Jika pemilahan sampah telah dilakukan, penataan bak sampah pun menjadi bagian yang tidak boleh terlewatkan. Sampah, yang telah dipilah, perlu disediakan bak yang berbeda di tempat pembuangan sampahnya. Hal ini akan memudahkan operasional pengolahannya.
”Seiso”
Untuk menjaga agar pengolahan sampah ini dapat dilakukan secara kontinu, insinerator atau tungku pembakaran dan bak sampah ini, perlu terus dipelihara dengan melakukan pemeriksaan secara berkala. Sebisa mungkin, walaupun dikatakan tempat sampah, tetap saja harus terlihat bersih. Ini bisa tercapai kalau semua sampahnya dapat diolah secara tuntas sehingga tempat sampah pun tetap terlihat rapi dan bersih. Orang Jepang menyebut semangat ini sebagai seiso yang berarti pembersihan, yang intinya pemeliharaan.
”Seiketsu”
Semangat seiketsu (pemantapan) yang besar tentang pengolahan sampah perlu ditanamkan. Upaya mengampanyekan pengolahan sampah sebagai sikap dan perilaku sehari-hari masyarakat, bersama pemerintah, akan memberi dampak yang positif. Kegiatan pengolahan sampah yang terus-menerus didengung-dengungkan, dan diteladankan secara konsisten, lambatlaun akan membiasakan seluruh komponen masyarakat dan pemerintah untuk mengolah sampah dengan cara yang benar.
Kalau saja upaya pemantapan ini dilakukan pemerintah dan masyarakat secara kooperatif, penanggulangan persoalan akan terselesaikan sejak dini. Gerakan pemberesan, pemilahan, dan penataan yang terus-menerus dimantapkan akan menjadi kebiasaan pemerintah dan warganya untuk selalu tetap bersih dan rapi. Kebiasaan itu akan memantapkan tiap individu kota untuk tergerak dari diri sendiri. Internalisasi nilai-nilai bersih dan rapi ini dilakukan secara berulang-ulang dan terus-menerus.
”Shitsuke”
Tampaknya semua akan berjalan dengan baik apabila semangat melakukan yang terbaik, menjadikan hari ini lebih baik dari kemarin, mengejar penyempurnaan dari pemecahan masalah sampah ini terus terpelihara dalam diri setiap orang. Ini bisa terjadi jika setiap warga masyarakat disiplin (shitsuke), menaati peraturan untuk mengolah sampah secara swadaya dengan benar. Selain disiplin mengikuti prosedur, juga disiplin untuk melakukannya sepanjang waktu.
Pemerintah
Manajemen pengolahan sampah tentu tidak saja dapat ditopang dengan gerakan 5 S yang hanya ditanamkan pada masyarakat. Konsep Kaizen pun perlu ditanamkan pada pemerintah, yang juga bertanggung jawab terhadap persoalan pengolahan sampah ini.
Pemerintah perlu mengelola tempat-tempat yang menjadi TPS dan TPA, berkerja sama dengan perangkat desa yang ada. Lokalisasi TPS dan TPA perlu dipilah secara tegas dengan permukiman penduduk. Tidak ada lagi bangunan-bangunan liar di sekitar TPS dan TPA. Pastikan di dalam perencanaan tata ruang wilayah dan kota ada tempat khusus untuk pembuangan sampah. Mengingat, tidak semua wilayah warganya memiliki kemampuan untuk membeli perangkat pengolah sampah, maka perlu dipilih wilayah mana saja yang dapat memperoleh bantuan tungku pembakaran ataupun insinerator.
Selain itu, agar sampah pun memiliki manfaat bagi kita, perlu kiranya pemerintah membuat pusat-pusat pembuatan humus dari sampah organik yang dihasilkan oleh masyarakat. Selain bermanfaat bagi pertanian juga membuka lapangan pekerjaan baru.
Penataan TPS dan TPA harus memerhatikan aspek kesehatan masyarakat. Pastikan kadar polusi yang dihasilkan sampah masih dalam batas yang diperbolehkan. TPA - TPA baru, yang akan dibuat, lokasinya harus jauh dari permukiman penduduk, kalau perlu diberi dinding tinggi agar hanya petugas sampah saja masuk ke wilayah itu. Penataan TPS dan TPA perlu berbasis efisiensi. Apalagi dengan harga BBM yang tinggi, pengelolaan transportasi sampah pun perlu dikaji secara mendalam sehingga tidak memerlukan tambahan dana yang nantinya akan membebani masyarakat.
Perawatan alat-alat pembakaran sampah perlu dilakukan secara berkala dan kontinu. Ini menjaga agar semua alat dan fasilitas dalam keadaan siap pakai. Jika perlu disediakan petugas khusus untuk memeliharanya. Kalau tidak, latihlah warga setempat untuk bisa merawat alat-alat pengolahan sampahnya sendiri. Pembersihan tempat-tempat parkir truk sampah pun perlu dilakukan kontinu agar tidak ada sampah yang tercecer, terutama di kawasan TPA. Ini berarti mendisiplinkan para petugas sampah untuk selalu memenuhi standar prosedur kerja, demi menjaga kebersihan dan keamanan dalam bekerja.
Pemerintah, tampaknya perlu mengomunikasikan Gerakan 5 S ini. Masyarakat perlu diedukasi agar mereka mau berpartisispasi mengolah sampah secara swadaya. Membina hubungan baik dengan kalangan media massa, baik cetak maupun elektronik, sepertinya merupakan langkah awal yang perlu diambil. Dengan komunikasi, masyarakat disadarkan untuk terbiasa menjaga diri, keluarga, dan lingkungannya agar terhindar dari berbagai dampak yang ditimbulkan sampah.*** (PRIMA M. AGUSTINI,docPR,20mei2006)

Gaya Hidup Bersih Mulailah dari Rumah

Gaya Hidup Bersih
Mulailah dari Rumah
BERSIH pangkal sehat. Semboyan itu kita kenal sejak duduk di taman kanak-kanak. Mungkin kita masih ingat, betapa ibu/bapak guru berkali-kali mengingatkan pesan itu. Buanglah sampah pada tempatnya, juga merupakan kata-kata normatif dan idealis yang sering mereka lontarkan untuk mendoktrin kita supaya bergaya hidup bersih. Dan betapa kita selalu mengikuti ucapan mereka itu.
Akan tetapi, seberapa banyak dari kita yang kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, mungkin hanya 50 persennya. Sebab sekolah sebagai lembaga formal pendidikan, harus senantiasa didukung oleh pendidikan sejak dari rumah (keluarga sebagai institusi terkecil).
Ket Gambar : PEMILAHAN sampah sejak dari rumah tangga akan memudahkan petugas untuk mengolahanya jika sistem pengolahan sampah telah berjalan dengan baik. Pengolahan sampah memang harus dimulai dari rumah tangga, karena masalah persampahan di kota-kota besar, termasuk Bandung saat ini disebabkan terbatasnya lahan TPA sampah dan juga kurangnya transportasi pengangkut sampah.*DUDI SUGANDI/"PR"
Kebersihan yang diajarkan sejak usia dini di sekolah, harus didukung oleh peran orang tua di rumah agar mereka selalu mengingat dan menjadi terbiasa dengan gaya hidup yang bersih dan sehat.
Coba kita lihat kondisi saat ini, ketika bersih tidak lagi menjadi kewajiban yang harus dipenuhi dalam rumah, yang mendapat dampak terbesar adalah anak karena mereka rentan akan penyakit dan faktor negatif eksternal lainnya.
Seperti diberitakan "PR", Senin (12/6), wabah muntaber menyerang warga yang umumnya bayi di bawah usia dua tahun, yang tinggal di dua kecamatan yaitu Kecamatan Purwakarta dan Bungursari. Hingga Minggu (11/6) tercatat 10 bayi di bawah usia 2 tahun, dirawat di RSUD Bayu Asih Purwakarta.
Atas kasus ini, Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat, Dr. Yudhi Prayudha menyebutkan, diare, muntaber, ataupun kolera, merupakan penyakit yang disebabkan virus, bakteri ataupun parasit yang timbul akibat tidak diterapkannya gaya hidup sehat ataupun gaya hidup bersih yang dimulai dari rumah.
Apa saja, sih, yang harus diperhatikan kebersihannya dalam rumah? Yang pertama, tentu saja lingkungan di dalam dan sekitar rumah. Selain itu tak kalah penting adalah pengolahan limbah sampah rumah tangga yang benar serta pengolahan sanitasi air, sehingga limbah rumah tangga bisa terolah dengan baik.
Dalam acara Diseminasi Hasil Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Permukiman di Pusat Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) di Cileunyi-Bandung beberapa waktu lalu, diperkenalkan beberapa teknologi ramah lingkungan dan sesuai dengan kebutuhan hidup masa kini.
"Kami selalu berusaha menghasilkan teknologi permukiman yang inovatif, aplikatif, kompetitif dan bermanfaat bagi masyarakat luas, termasuk produk-produk teknologi pendukung kebersihan dan kesehatan di lingkungan rumah," tutur Kepala Puslitbang Permukiman, Ir. Nana Terangna Ginting, Dipl.EST.
Beberapa produk teknologi tersebut antara lain komposter rumah tangga (KRT), kolam sanitasi taman (Sanita), dan ekoteknologi di selokan terbuka perumahan sebagai pengolah limbah rumah tangga grey water (nonkakus).
Pengolahan sampah memang harus dimulai dari rumah tangga, karena masalah persampahan di kota-kota besar, termasuk Bandung saat ini disebabkan terbatasnya lahan untuk tempat pengelolaan akhir (TPA) sampah dan juga kurangnya transportasi pengangkut sampah.
Oleh karena itu, KRT yang ditawarkan oleh Balitbang Permukiman ini, bisa menjadi salah satu solusinya. Pada dasarnya, teknologi KRT sudah diperkenalkan sejak tahun 90-an dan telah diterapkan di beberapa kota di Indonesia.
Hanya, gaung sosialisasinya kurang berhasil terdengar ke seluruh lapisan masyarakat, sehingga meledaknya kasus sampah saat ini bisa menjadi parameter ketidakberhasilan sosialisasi tersebut.
Padahal, cara membuat dan mengoperasikannya juga sangat mudah. Alat-alat untuk membuatnya juga murah dan mudah didapat, yaitu tong sampah yang terbuat dari plastik ukuran 100 liter, dan pipa PVC panjang 60 cm empat buah beserta tutup pipa PVC sesuai diameter pipa. yang dibolongi. KRT ini mampu mengolah sampah organik dapur 45 persen sampai 53 persen dari sampah rumah tangga.
Untuk membuat komposter tersebut, tong plastik dilubangi di sekelilingnya sebanyak empat buah lubang dengan diameter disesuaikan dengan diameter pipa PVC. Posisi lubang sekira 15 cm dari bagian atas tong.
Lubangi tong secara beraturan dengan diameter kurang lebih 1 cm dimulai dari posisi lubang untuk pipa hingga 10 cm di atas dasar tong. Pipanya juga dilubangi mendatar diameternya juga 1 cm, kemudian salah satu ujung ditutup dengan tutup pipa PVC.
Setelah tong dan pipa dilubangi kemudian pasangkan keempat pipa tersebut pada lubang yang telah dibuat sesuai ukuran pipa. Alat ini ditanamkan pada tanah, hingga hanya bagian atasnya yang terlihat untuk bisa membuang sampah.
Prinsip kerjanya sangat mudah. Pisahkan sampah organik dan non organik. Lalu buang sampah organik ke dalam komposter, kemudian ditutup. Lakukan sampai komposter penuh. Setelah penuh, tutup rapat-rapat kemudian biarkan selama empat hingga enam bulan, jangan pernah buka, sehingga penguraian bisa terjadi secara sempurna.
Mudah, kan?
Nah, sekarang untuk air limbah rumah tangga yang menurut agenda Indonesia 21 merupakan sumber utama pencemaran badan air mencapai 5.075 persen.
Dengan kondisi ini menyebabkan tidak tercapainya siklus alamiah. Dan tingginya kejadian wabah diare, muntaber, disentri dan kolera adalah juga disebabkan oleh sanitasi yang buruk. Oleh karena itu, perlu dicari alternatif penyelesaian yang mempertimbangkan aspek ekologi, salah satunya dengan sistem sanitasi taman (sanita).
Sanita ini diartikan sebagai sistem sanitasi berkelanjutan dan ekonomis memenuhi faktor ekologis sebagai pengunaan kembali tinja manusia dan urine yang telah tersanitasi dikembalikan ke tanah sebagai pupuk organik/nutrien (closed-loop system) yang berarti menjaga siklus ekologi dalam proses sanitasi.
Tujuannya adalah mengendalikan limbah cair rumah tangga agar tidak mencemari badan air atau lingkungan serta memperbaiki kualitas air tanah, air permukaan, dan kesuburan tanah melalui alternatif pengolahan sistem ekosan.
Kolam sanita ini, digunakan di lingkungan perumahan. Artinya, air limbah rumah tangga dari tiap rumah dialirkan ke kolam tersebut. Sistem pengelolaannya melibatkan seluruh masyarakat. Oleh karena itu, perlu kesadaran dari tiap anggota masyarakat untuk membuat dan mengelola kolam tersebut.
Kolam sanita terdiri dari pipa inlet, pipa outlet, kerikil, tanaman air minimal 11 macam dalam satu kolam, dan tentu saja, sumber air limbah rumah tangga. Kolam ini mampu mereduksi faecal coliform bakteri hingga 98 persen, dan total nitrogen phospat hingga 6.575 persen, sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.
Dan untuk air limbah rumah tangga nonkakus (grey water) seperti buangan dari kamar mandi, dapur yang mengandung sisa makanan, dari tempat cuci yang dihasilkan setiap saat. Hampir di sebagian besar kompleks perumahan, grey water dibuang langsung ke selokan tanpa diolah terlebih dahulu.
Dekomposisi grey water, menimbulkan bau tak sedap ke lingkungan dan bisa mencemari tanah. Salah satu alternatif mengatasi grey water yaitu dengan menanami selokan depan rumah dengan aneka jenis tanaman hias air yang dapat menyerap zat pencemar. Tentu saja dengan adanya tanaman di sekitar selokan akan menambah nilai estetika rumah kita.
Tanaman-tanaman yang bisa digunakan antara lain, Jaringao, Pontederia Cordata (Bunga Ungu), Lidi Air, Futoy Ruas, Typha Angustifolia (Bunga Coklat), Melati Air, dan Lili Air.
Cara membuatnya, bersihkan selokan grey water depan rumah, siapkan kantung kasa nilon yang disesuaikan dengan lebar selokan sebagai dudukan dan kemudahan ganti posisi letak tanaman. Isikan tanaman dalam kantung kasa nilon, lalu masukkan dalam selokan. Selain bersih dan sehat, rumah pun menjadi indah dan sedap dipandang. (Feby Syarifah/"PR")